PUISI PADAMU
JUA KARYA AMIR HAMZAH
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menusuk ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku
(Amir hamzah: Nyanyi Sunyi)
ANALISIS TIAP BAIT PUISI
PADAMU JUA
Oleh: Suwito Samin 2017
Di antara sastrawan-sastrawan
Pujangga Baru, nama Amir Hamzah tentu paling dikenal dalam bidang puisi. Hal
ini tidak lepas juga dari gelar yang telah dilekatkan padanya oleh Paus Sastra
Indonesia, H. B. Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Melihat salah satu
puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di atas, kita tidak bisa
melepaskannya dari ciri khas Amir Hamzah yang suka mengangkat tema-tema agama.
Kesukaannya dengan hal-hal berbau sufistik juga mengingatkan kita pada Hamzah
Fansuri, peletak dasar puisi modern di Indonesia.
Padamu Jua adalah puisi yang mengisahkan
tentang pertemuan dua orang kekasih yang telah lama terpisah, yaitu antara aku
lirik dengan kekasihnya. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan
konotasi positif, seperti kandil, pelita, sabar, setia, dara. Selain itu banyak
juga digunakan kata-kata berkonotasi negatif, seperti kikis, hilang, cemburu,
ganas, cakar, lepas, nanar, sasar, sunyi. Kata-kata tersebut dapat membantu
kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh karena itu, saya
menafsirkan pertemuan yang dimaksud adalah pertemuan yang abadi, yaitu setelah
kematian aku lirik. Sedangkan kekasih yang dimaksud adalah Tuhan aku lirik yang
selalu mencintainya walupun aku lirik telah berpaling dari-Nya.
Pada bait pertama, dapat kita ambil suatu kesimpulan
bahwa aku lirik merasakan bahwa ia tidak bisa menghindar dari kekasihnya,
Tuhannya. Walaupun cinta itu sampai habis terkikis oleh masa dan hilang terbang
ke tempat yang antah-berantah, aku lirik tetap tidak bisa melepaskan diri dari
kekasihnya. Pulang kembali aku padamu, kata aku lirik dalam salah satu
baris puisinya. Bahkan untuk menguatkan keteguhan cinta kekasih aku lirik
tersebut, Amir Hamzah menambahkan Seperti dahulu. Ini menandakan bahwa
memang cinta yang diberikan oleh kekasih aku lirik tidak dapat berubah. Dan itu
tetap dirasakan aku lirik ketika ia melakoni “pulang kembali” tersebut.
Pada bait kedua, aku lirik memperlihatkan bagaimana
ketulusan cinta kasih yang diberikan kekasihnya pada dirinya. Cinta yang
diberikan kekasihnya diibaratkan sebagai kandil kemerlap dan pelita
jendela di malam gelap yang selalu sabar dan setia menanti kedatangan aku
lirik dari perginya yang lama.
Namun, di bait ketiga, aku
lirik tetap tidak mau mepedulikan kekasihnya itu. Sebagai seorang manusia, ia
juga membutuhkan rasa cinta yang berbentuk (rindu rupa). Sedangkan kekasihnya
ini adalah sesuatu yang tidak nampak.
Pada bait keempat, aku lirik menumpahkan penasarannya
itu dan bertanya, Di mana engkau /rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata
merangkai hati. Karena yang dicintai adalah Tuhan, maka mata manusia tidak
mampu melihatnya. Sehingga rupa pun menjadi tiada. Tetapi bisikan kata-kata
selalu dirasakan aku lirik merangkai hatinya untuk meyakini bahwa ia memang
tengah mencintai kekasihnya dan kasih itu berbalas.
Pada bait kelima, aku lirik menjelaskan bahwa
kekasihnya itu telah menjadi terbakar api cemburu oleh kelakuan aku lirik,
yaitu ketika aku lirik meningglkan kekasihnya, sebelum ia melakoni “pulang
kembali”nya. Hal ini, menurut aku lirik, mengakibatkan sang kekasih menjadi
ganas. Aku lirik melihat bahwa kekasihnya hanya ingin cintanya tak berbagi ke
lain hati. Kekasih aku lirik ingin memiliki aku lirik sepenuhnya. Kata mangsa
ini menandakan pemaksaan kekasihnya tersebut.
Bait keenam menunjukkan kepasrahan aku lirik
karena telah “dimangsa” oleh “cakar” kekasihnya. Ia menjadi nanar dan gila
sasar. Tak tahu hendak ke mana. Ia telah buta arah. Dalam bahasa Sasak,
biasa dikatakan kebebeng. Karena, biar bagaimanapun, ia menyadari bahwa
ia akan berulang (kembali) lagi kepada kekasihnya. ditandaskan lagi, cinta yang
diberikan kekasihnya diibaratkan Serupa dara di balik tirai yang
seakan-akan pelik menusuk ingin, benar-benar membuat penasaran dan ingin
tahu.
Pada bait terakhir merupakan puncak pertemuan aku
lirik dengan kekasihnya. ternyata aku lirik mendapatkan bahwa kasih yang
diberikan kekasihnya itu sunyi. Sepi, karena ia hanya menunggu seorang diri.
Itu dirasakan aku lirik setelah waktu bukan lagi menjadi haknya. Dan matahari
bukan lagi menjadi kawannya. Saat aku lirik melakukan “pulang kembali”-nya itu,
yaitu ketika aku lirik mengalami kematian.
A5-28
BalasHapusMantap Pak
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusS1-16 👍
BalasHapusA4-12
BalasHapusa2-01
BalasHapusA2-23
BalasHapusA3-06 bagus pak puisinya
BalasHapusA4-09
BalasHapusA4-28☺
BalasHapusA4-04
BalasHapusA4-01
BalasHapusA4-01
BalasHapusA4-09
BalasHapusA4-11
BalasHapusA4-32
BalasHapusA3-16 masuk
BalasHapusA5_13
BalasHapusA2-20 Monica yeyen.y.
BalasHapusA5-21
BalasHapus